Minggu, 19 Desember 2010

UNDANG-UNDANG RI PAJAK NOMOR 18 TAHUN 2000 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 18 TAHUN 2000
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK DAN
PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa dalam rangka lebih meningkatkan kepastian hukum dan keadilan, serta menciptakan sistem perpajakan yang
sederhana dengan tanpa mengabaikan pengawasan dan pengamanan penerimaan negara agar pembangunan nasional
dapat dilaksanakan secara mandiri, dilakukan perubahan terhadap Undang-undang No.8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), dari Pasal 23 ayat (2) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Pertama Tahun 1999;
2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984);
3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undangundang
Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3985);
4. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3264) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3568);
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN
1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NlLAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS
BARANG MEWAH
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
dan Pajak Penjualan Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3264) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3568) diubah
sebagai berikut.:
1. Ketentuan Pasal 1 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 1 berbunyi sebagai berikut.:
“Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara
diatasnya serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen yang di dalamnya
berlaku Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
2. Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang
tidak bergerak, dan barang tidak berwujud.
3. Barang Kena Pajak adalah barang sebagaimana dimaksud dalam angka 2 yang dikenakan pajak berdasarkan
Undang-undang ini,
4. Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud
dalam angka 3.
5. Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan
suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk
menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan,
6. Jasa Kena Pajak adalah jasa sebagaimana dimaksud dalam angka 5 yang dikenakan pajak berdasarkan Undangundang
ini.
7. Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam
angka 6.
8. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari
luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
9. Impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean.
10. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan
Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean karena suatu perjanjian di dalam Daerah Pabean.
11. Ekspor adalah setiap kegiatan mengeluarkan barang dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean.
12. Perdagangan adalah kegiatan usaha memb eli dan menjual, termasuk kegiatan tukar menukar barang, tanpa
mengubah bentuk atau sifatnya.
13. Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun
yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan
Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis,
lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya.
14. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan sebagaimana dimaksud dalam angka 13 yang dalam kegiatan usaha
atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha
perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau
memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
15. Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam angka 14 yang melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang
ini, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, kecuali
Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
16. Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk atau sifat suatu barang dari bentuk
aslinya menjadi barang baru atau mempunyai daya guna baru, atau kegiatan mengolah sumber daya alam
termasuk menyuruh orang pribadi atau badan lain melakukan kegiatan tersebut.
17. Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang
terutang.
18. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnyn diminta oleh penjual
karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut
Undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
19. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh
pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-undang
ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
20. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan lainnya
yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Pabean untuk impor Barang
Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-undang ini.
21. Pembeli adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Barang Kena
Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar harga Barang Kena Pajak tersebut.
22. Penerima jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Jasa Kena
Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar Penggantian atas Jasa Kena Pajak tersebut.
23. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak, atau bukti pungutan pajak karena impor Barang Kena
Pajak yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
24. Pajak Masukan adalah pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak
karena perolehan Barang Kena Pajak dan atau penerimaan Jasa Kena Pajak dan atau pemanfaatan Barang Kena
Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean
dan atau impor Barang Kena Pajak.
25. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak.
26. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh
eksportir.
27. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendaharawan Pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh
Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada
bendaharawan Pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah tersebut.”
2. Di antara Pasal 1 dan Pasal 2 disisipkan 1 (satu) pasal yaitu Pasal 1A yang berbunyi sebagai berikut. :
“Pasal 1A
(1) Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
a. penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;
b. pengalihan Barang Kena pajak oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan perjanjian leasing;
c. penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
d. pemakaian sendiri dan atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak;
e. persediaan Barang Kena Pajak dan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang
masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, sepanjang Pajak Pertambahan Nilai atas perolehan aktiva
tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan;
f. penyerahan Sarang Kena Pajak dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya dan penyerahan Sarang Kena Pajak
antar Cabang;
g. penyerahan Sarang Kena Pajak secara konsinyasi.
(2) Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
a. penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang
Hukum Dagang;
b. penyerahan Barang Kena pajak untukjaminan utang piutang;
c. penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f dalam hal Pengusaha Kena
Pajak memperoleh ijin pemusatan tempat pajak terutang.”
3. Judul Bab II A diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut.:
“BAB IIA
KEWAJIBAN MELAPORKAN USAHA DAN KEWAJIBAN MEMUNGUT,
MENYETOR DAN MELAPORKAN PAJAK YANG TERUTANG
4. Ketentuan Pasal 3A diubah, sehingga keseluruhan Pasa1 3A berbunyi sebagai berikut.:
Pasal 3A
(1) Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, huruf c, atau huruf f,
wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, dan wajib memungut, menyetor,
dan melaporkan Pajak pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang.
(2) Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak wajib melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d dan atau yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah
Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan
Nilai yang terutang yang penghitungan dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.”
5. Judul Bab III diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut.:
“BAB III
OBJEK PAJAK
6. Ketentuan Pasal 4 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 4 berbunyi sebagai berikut.:
Pasal 4
Pajak Pertambahan Nilai diikenakan atas:
a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
b. impor Barang Kena Pajak;
c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; atau
f. ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.”
7. Ketentuan Pasal 4A diubah dan dijadikan ayat (1) dan ditambah 2 (dua) ayat yaitu ayat (2) dan ayat (3),
sehingga keseluruhan Pasal 4A berbunyi sebagai berikut.:
“Pasal 4A
(1) Jenis barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 dan jenis jasa sebagajmana dimaksud dalam Pasal 1
angka 5 yang tidak dikenakan Pajak berdasarkan Undang-undang ini ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Penetapan jenis barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
didasarkan atas kelompok-kelompok barang sebagai berikut. :
a. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;
b. barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
c. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung dan sejenisnya;
d. uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.
(3) Penetapan jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
didasarkan atas kelompok-kelompok jasa sebagai berikut. :
a. jasa di bidang pelayanan kesehatan medik;
b. jasa di bidang pelayanan sosial;
c. jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko;
d. jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi;
e. jasa di bidang keagamaan;
f. jasa di bidang pendidikan;
g. jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan;
h. jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan;
i. jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air;
j. jasa di bidang tenaga kerja;
k. jasa di bidang perhotelan;
l. jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum.”
8. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 5 berbunyi sebagai berikut. :
“Pasal 5
(1) Disamping pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dikenakan juga Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah terhadap:
a. Penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha yang
menghasilkan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah tersebut di dalam Daerah Pabean dalam
kegiatan usaha atau pekerjaannya;
b. impor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah.
(2) Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dikenakan hanya satu kali pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak
Yang Tergolong Mewah oleh Pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor.”
9. Ketentuan Pasal 6 dihapus.
10. Ketentuan Pasal 8 ayat (1), ayat (3) dan ayat (4) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 8 berbunyi sebagai
berikut.:
“Pasal 8
(1) Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah adalah paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 75%
(tujuh puluh lima persen).
(2) Atas ekspor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah dikenakan pajak dengan tarif 0% (nol persen).
(3) Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan kelompok Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang
dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(4) Jenis Barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas Barang Kena Pajak Yang Tergolong
Mewah sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.”
11. Ketentuan Pasal 9 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), ayat (9), dan ayat (13) diubah,
ayat (10), ayat (11), ayat (12), dan ayat (14) dihapus, dan diantara ayat (2) dari ayat (3) disisipkan ayat baru
yaitu ayat (2a), sehingga keseluruhan Pasal 9 berbunyi sebagai berikut. :
“Pasal 9
(1) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 dengan Dasar Pengenaan Pajak.
(2) Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang sama.
(2a) Dalam hal belum ada Pajak Keluaran dalam suatu Masa Pajak, maka Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan.
(3) Apabila dalam suku Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besarbdaripada Pajak Masukan, maka selisihnya
merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak.
(4) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran,
maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat dimintakan kembali atau dikompensasikan ke Masa
Pajak berikutnya.
(5) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga
melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat
diketahui dengan pasti dari pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukan ynng dapat dikreditkan adalah Pajak
Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak.
(6) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga
melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang
pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan unluk penyerahan
yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(7) Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha yang dikenakan Pajak Penghasilan dengan
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8
Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17
Tahun 2000, dapat dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(8) Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan menurut cara sebagai mana diatur dalam ayat (2) bagi pengeluaran
untuk:
a. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak;
b. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan
kegiatan usaha;
c. perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon, van, dan kombi kecuali
merupakan barang dagangan atau disewakan;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah
Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
e. perolehan barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bukti pungutannya berupa Faktur Pajak
Sederhana;
f. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5);
g. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah
Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);
h. perolehan Barang Kena Pajakatas Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan
ketetapan pajak;
i. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang diketemukan pada waktu dilakukannya pemeriksaan.
(9) Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapj belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang
sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa
Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
(10) Dihapus.
(11) Dihapus
(12) Dihapus.
(13) Penghitungan dan tata cara pengembalian kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4)
diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
(14) Dihapus.”
12. Ketetuan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (3) 'diubah, sehirlgga keseluruhan Pasal 10 berbunyi sebagai berikut.:
“Pasal 10
(1) Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 dengan Dasar Pengenaan Pajak.
(2) Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang sudah dibayar pada waktu perolehan atau impor Barang Kena Pajak
Yang Tergolong Mewah, tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Pertambahan Nilai maupun Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah yang dipungut berdasarkan Undang-undang ini.
(3) Pengusaha Kena Pajak yang mengekspor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah dapat meminta kembali
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang telah dibayar pada waktu perolehan Barang Kena Pajak Yang
Tergolong Mewah yang diekspor tersebut.
13. Ketentuan Pasal 11 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) diubah, ayat (3) dan ayat (5) dihapus, sehingga keseluruhan
Pasal 11 berbunyi sebagai berikut.:
“Pasal 11
(1) Terutangnya pajak terjadi pada saat:
a. penyerahan Barang Kena Pajak;
b. impor Barang Kena Pajak;
c. penyerahan Jasa Kena Pajak;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 huruf d.
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e; atau
f. ekspor Barang Kena Pajak.
(2) Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena
Pajak, atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak
berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e, saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran.
(3) dihapus.
(4) Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan saat lain sebagai saat terutangnya pajak dalam hal saat terutangnya
pajak sukar ditetapkan atau terjadi perubahan ketentuan yang dapat menimbulkan ketidakadilan.
(5) dihapus.”
14. Ketentuan Pasal 12 ayat (1) dan ayat (4) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 12 berbunyi sebagai berikut.:
“Pasal 12
(1) Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, huruf c dan
huruf f terutang pajak di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha dilakukan atau
tempat lain yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
(2) Atas permohonan tertulis dari Pengusaha Kena Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan satu tempat
atau lebih sebagai tempat pajak terutang.
(3) Dalam hal impor, terutangnya pajak terjadi di tempat Barang Kena Pajak dimasukkan dan dipungut melalui
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
(4) Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari
luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d dan huruf e terutang
pajak di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha.”
15. Ketentuan Pasal 13 ayat (1), ayat (2), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 13
berbunyi sebagai berikut.:
“Pasal 13
(1) Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf a atau huruf f dan setiap penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 huruf c.
(2) Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pengusaha Kena Pajak dapat membuat satu
Faktur Pajak meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima
Jasa Kena Pajak yang sama selama sebulan takwim.
(3) Apabila pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena
Pajak, faktur Pajak dibuat pada saat pembayaran.
(4) Saat pembuatan, bentuk, ukuran, pengadaan, tata cara penyampaian, dan tata cara pembetulan Faktur Pajak
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(5) Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan
Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:
a. Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
b. Nama, alamat, dan Nomor PokokWajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
c. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
e. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang dipungut;
f. Kode, Nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
g. Nama, jabatan dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
(6) Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu sebagai Faktur Pajak.
(7) Pengusaha Kena Pajak dapat membuat Faktur Pajak Sederhana yang persyaratannya ditetapkan dengan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak.”
16. Ketentuan Pasal 16 A diubah, sehingga keseluruhan Pasal 16 A berbunyi sebagai berikut. :
“Pasal 16A
(1) Pajak yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan pajak oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.”
17. Ketentuan Pasal 16 B diubah, sehingga keseluruhan Pasal 16B berbunyi sebagai berikut.:
“Pasal 16B
(1) Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya,
baik untuk sementara waktu atau selamanya, atau dibebaskan dari pengenaan pajak, untuk:
a. kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;
b. penyerahan Barang Kena Pajaktertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;
c. impor Barang Kena Pajak tertentu;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
(2) Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas
penyerahannya tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai, dapat dikreditkan.
(3) Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas
penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan.”
18. Ketentuan Pasal 16 C diubah, sehingga keseluruhan Pasal 16C berbunyi sebagai berikut. :
Pasal 16C
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha
atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang
batasan dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
PASAL II
Undang-undang ini dapat disebut Undang-undang Perubahan Kedua Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai
Tahun 1984.
PASAL III
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 2 Agustus 2000
PRESIDEN REPUBUK INDONESIA,
ttd
ABDURRAHMAN WAHID
Diundangkan di Jakarta
pada tanggai 2 Agustus 2000
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DJOHAN EFFENDI
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NO.128
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 18 TAHUN 2000
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NO.8 TAHUN 1983
TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NlLAI BARANG DAN JASA DAN
PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
UMUM
Dalam era reformasi saat ini, perkembangan sosial ekonomi dan politik berlangsung sangat cepat sehingga
perubahan sistem perpajakan yang pernah dilakukan belum dapat menampung perkembangan dunia usaha karena
masih dijumpai kelemahan-kelemahan dalam Undang-undang Perpajakan, yaitu :
a. belum adil walaupun sudah dilaksanakan sesuai ketentuan,
b. kurang memberikan hak-hak Wajib Pajak,
c. kurang memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajibannya,
d. kurang memberikan kepastian hukum serta kurang sederhana.
Untuk itu dalam rangka menampung perkembangan dunia usaha dipandang perlu penyempurnaan peraturan
perundang-undangan perpajakan dengan menitikberatkan pada peningkatan :
a. asas keadilan,
b. asas kepastian hukum,
c. asas legalitas, dan
d. asas kesederhanaan.
Berlandaskan pada hal-hal tersebut di atas, maka sasaran yang ingin diwujudkan dalam pelaksanaan perubahan
Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Tahun 2000 adalah menciptakan
sistem perpajakan yang lebih adil, sederhana, dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat serta dapat
mengamankan dan meningkatkan penerimaan negara.
Adapun pokok-pokok perubahan yang dilakukan antara lain :
a. Untuk lebih memberikan kepastian hukum mengenai barang-barang yang tidak dikenakan pajak, maka dalam
perubahan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Tahun 2000
hanya terhadap barang-barang yang merupakan kebutuhan pokok; barang-barang yang sudah dikenakan pajak
daerah; barang-barang hasil pertambangan atau pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya; barangbarang
yang merupakan alat tukar; serta barang barang lain yang berdasarkan pertimbangan ekonomi, sosial dan
budaya tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
b. Untuk lebih memberikan keadilan serta dalam upaya mengendalikan pola konsumsi masyarakat yang tidak
produktif maka tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dinaikkan.
c. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak belurr berproduksi atau belum melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak dan atau ekspor Barang Kena Pajak, maka Pajak Masukan yang
dapat dikreditkan yang dibayar pada saat perolehan Barang Kena Pajak, penerimaan Jasa Kena Pajak,
pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah
Pabean, dan atau impor Barang Kena Pajak tetap dapat dikreditkan.
d. Penyederhanaan administrasi perpajakan yang meliputi proses restitusi dan diberlakukannya Faktur Penjualan
sebagai Faktur Pajak.
e. Terhadap Pajak Masukan yang belum dikreditkan dalam Masa Pajak yang sama dengan Pajak Keluaran masih
dapat dikreditkan pada Masa Pajak yang tidak sama paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa
Pajak yang bersangkutan.
f. Kemudahan perpajakan atas transaksi penggabungan atau perubahan bentuk usaha atau pengalihan seluruh
aktiva perusahaan tidak lagi diberjkan.
g. Kemudahan perpajakan diberikan hanya untuksektor-sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi,
mendorong perkemb angan dunia usaha dan meningkatkan daya saing, mendukung pertahanan dan keamanan
nasional, serta memperlancar pembangunan nasional.
PASAL DEMI PASAL
PASAL I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas
Angka 2
Pasal 1A
Ayat (1)
Huruf a
Perjanjian yang dimaksudkan dalam ketentuan ini meliputi jual beli, tukar menukar, jual beli dengan angsuran, atau
perjanjian lain yang mengakibatkan penyerahan hak atas barang.
Huruf b
Penyerahan Barang Kena Pajak juga dapat terjadi karena perjanjian sewa beli atau perjanjian sewa guna usaha
(/easing). Adapun yang dimaksud dengan penyerahan karena perjanjian sewa guna usaha (/easing) adalah
penyerahan yang disebabkan oleh perjanjian sewa guna usaha (/easing) dengan hak opsi .Meskipun pengalihan atau
penyerahan hak atas Barang Kena Pajak belum dilakukan dan pembayaran Harga Jual Barang Kena Pajak tersebut
dilakukan secara bertahap, tetapi karena penguasaan atas Barang Kena Pajak telah berpindah darj penjual kepada
pembeli atau dari lessor kepada lessee, maka Undang-undang ini menentukan bahwa penyerahan Barang Kena Pajak
dianggap telah terjadi pada saat perjanjian ditandatangani, kecuali apabila saat berpindahnya penguasaan secara
nyata atas Barang Kena Pajak tersebut terjadi lebih dahulu daripada saat ditandatanganinya perjanjian.
Huruf c
Yang di maksud dengan pedagang perantara ialah orang pribadi atau badan yang dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya dengan nama sendiri melakukan perjanjian atau perikatan atas dan untuk tanggungan orang lain
dengan mendapat upah atau balas jasa tertentu, misalnya komisioner. Yang dimaksud dengan juru lelang disini
adalah juru lelang pemerintah atau yang ditunjuk pemerintah.
Huruf d
Pemakaian sendiri diartikan pemakaian untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawannya, baik
barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri. Sedangkan pemberian cuma-cuma diartikan sebagai
pemberian yang diberikan tanpa pembayaran baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri, antara
lain pemberian contoh barang untuk promosi kepada relasi atau pembeli.
Huruf e
Persediaan Barang Kena Pajak dan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih
tersisa pada saat pembubaran perusahaan, disamakan dengan pemakaian sendiri, sehingga dianggap sebagai
penyerahan Barang Kena Pajak.
Khusus untuk aktiva yang menurut tujuan semula tidak diperjualbelikan tersebut, hanya dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai apabila memenuhi persyaratan, yaitu bahwa Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat
perolehannya dapat dikreditkan.
Huruf f
Apabila suatu perusahaan mempunyai lebih dari satu tempat pajak terutang, yaitu tempat melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak kepada pihak lain, baik sebagai pusat maupun sebagai cabang Perusahaan, maka Undangundang
ini menganggap bahwa pemindahan Barang Kena Pajak antar tempat-tempat tersebut merupakan
penyerahan Barang Kena Pajak. Yang dimaksud dengan cabang dalam ketentuan ini termasuk antara lain lokasi
usaha, perwakilan, unit pemasaran dan sejenisnya.
Huruf g
Dalam hal penyerahan secara konsinyasi, Pajak Pertambahan Nilai yang sudah dibayar pada waktu Barang Kena
Pajak yang bersangkutan diserahkan untuk dititipkan dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak
terjadinya penyerahan Barang Kena Pajak yang dititipkan tersebut. Sebaliknya, jika Barang Kena Pajak titipan
tersebut tidak laku dijual dan diputuskan untuk dikembalikan kepada pemilik Barang Kena Pajak, Pengusaha yang
menerima titipan tersebut dapat nenggunakan ketentuan mengenai pengembalian Barang Kena Pajak (retur)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 A Undang-undang ini.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan makelar dalam Undang-undang ini adalah makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab
Undang-undang Hukum Dagang yaitu pedagang perantara yang diangkat oleh Presiden atau oleh pejabat yang oleh
Presiden dinyatakan berwenang untuk itu. Mereka menyelenggarakan perusahaan mereka dengan melakukan
pekerjaan dengan mendapat upah atau provisi tertentu, atas amanat dan atas nama orang-orang lain yang dengan
mereka tidak terdapat hubungan kerja.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak mempunyai lebih dari satu tempat usaha, baik sebagai pusat maupun cabangcabang
perusahaan, dan Pengusaha Kena Pajak tersebut telah memperoleh ijin pemusatan tempat pajak terutang dari
Direktur Jenderal Pajak, maka pemindahan Barang Kena Pajak dari satu tempat usaha ke tempat usaha lainnya
(pusat ke cabang atau sebaliknya, atau antar cabang) dianggap tidak termasuk jalam pengertian penyerahan Barang
Kena Pajak, kecuali pemindahan Barang Kena Pajak antar tempat-tempat pajak terutang.
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Pasal 3 A
Ayat (1)
Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah
Pabean dan atau melakukan ekspor Barang Kena Pajak diwajibkan :
a. melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b. memungut pajak yang terutang;
c. menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar dari
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, serta menyetorkan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang;
d. melaporkan penghitungan pajak.
Ayat (2)
Pengusaha Kecil diperkenankan untuk memilih dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. Apabila menjadi
Pengusaha Kena Pajak, maka Undang-undang ini berlaku sepenuhnya bagi Pengusaha Kecil tersebut.
Ayat (3)
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak
dari luar Daerah Pabean, harus dipungut oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak
berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut.
Angka 5
Cukup jelas
Angka 6
Pasal 4
Huruf a
Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak meliputi baik Pengusaha yang telah
dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1) maupun Pengusaha
yang seharusnya dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak tetapi belum dikukuhkan.
Penyerahan barang yang dikenakan pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Barang berwujud yang dis erahkan merupakan Pajak, Barang Kena Pajak,
b. barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak tidak berwujud,
c. penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean, dan
d. penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.
Huruf b
Pajak juga dipungut pada saat impor Barang Kena Pajak. Pemungutan dilakukan melalui Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai. Berbeda dengan penyerahan Barang Kena Pajak tersebut pada huruf a, maka siapapun yang memasukkan
Barang Kena Pajak ke dalam Daerah Pabean tanpa memperhatikan apakah dilakukan dalam rangka kegiatan usaha
atau pekerjaannya atau tidak, tetap dikenakan pajak.
Huruf c
Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak meliputi baik Pengusaha yang telah dikukuhkan
sebagai Pengusaha kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 A ayat (1) maupun pengusaha yang seharusnya
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi belum dikukuhkan.
Penyerahan jasa yang terutang pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak,
b. penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean, dan
c. penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
Termasuk dalam pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak adalah Jasa Kena Pajak yang dimanfaatkan untuk
kepentingan sendiri dan atau Jasa Kena Pajak yang diberikan secara cuma-cuma.
Huruf d
Untuk dapat memberikan perlakuan pengenaan pajak yang sama dengan impor Barang Kena Pajak, maka atas
Barang Kena Pajak tidak berwujud yang berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh siapapun di dalam
Daerah Pabean juga dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
Contoh :
Pengusaha "A" yang berkedudukan di Jakarta memperoleh hak menggunakan merek yang dimiliki Pengusaha
"B"yang berkedudukan di Hongkong. Atas pemanfaatan merek tersebut oleh pengusaha "A" di dalam Daerah
Pabean terutang Pajak Pertambahan Nilai.
Huruf e
Jasa yang berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh siapapun di dalam Daerah Pabean dikenakan
Pajak Pertambahan Nilai.
Misalnya, Pengusaha Kena Pajak "C" di Surabaya memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari Pengusaha "B" yang
berkedudukan di Singapura. Atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai.
Huruf f
Berbeda dengan Pengusaha yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan atau huruf c, maka
Pengusaha yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak hanya Pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha
Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1).
Angka 7
Pasal 4A
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan barang hasil pertambangan dan hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya
seperti minyak mentah (crude oil}, gas bumi pasir dan kerikil, bijih besi, bijih timah, bijih emas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan kebutuhan pokok dalam ayat ini adalah beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam baik
yang berjodium maupun yang tidak berjodium.
Huruf c
Untuk menghindari pajak berganda, karena sudah merupakan objek pengenaan Pajak Daerah.
Huruf d
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Angka 8
Pasal 5
Ayat (1)
Dengan pertimbangan bahwa :
a. perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dengan konsumen yang
berpenghasilan tinggi;
b. perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah;
c. perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional;
d. perlu untuk mengamankan penerimaan negara, maka atas penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong
Mewah oleh produsen atau atas impor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah, di samping dikenakan
Pajak Pertambahan Nilai, juga dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah dalam ayat ini adalah:
1. bahwa barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau
2. barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau
3. pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; atau
4. barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau
5. apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dapat dan moral masyarakatf serta mengganggu ketertiban
masyarakat, seperti minuman beralkohol.
Pengenaan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas impor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah tidak
memperhatikan siapa yang mengimpor Barang Kena Pajak tersebut serta tidak memperhatikan apakah impor
tersebut dilakukan secara terus menerus atau hanya sekali saja.
Selain itu, pengenaan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah terhadap suatu penyerahan Barang Kena Pajak Yang
Tergolong Mewah tidak memperhatikan apakah suatu bagian dari Barang Kena Pajak tersebut telah dikenakan atau
tidak dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah pada transaksi sebelumnya.
Yang termasuk dalam pengertian menghasilkan dalam ayat ini adalah kegiatan:
a. merakit :
menggabungkan bagian-bagian lepas dari suatu barang menjadi barang setengah jadi atau barang jadi, seperti
merakit mobil, barang elektronik, perabot rumah tangga, dan sebagainya;
b. memasak :
mengolah barang dengan cara memanaskan baik dicampur bahan lain atau tidak;
c. mencampur:
mempersatukan dua atau lebih unsur (zat) untuk menghasilkan satu atau lebih barang lain;
d. mengemas :
menempatkan suatu barang ke dalam suatu benda yang melindunginya dari kerusakan dan atau untuk
meningkatkan pemasarannya;
e. membotolkan:
memasukkan minuman atau benda cair ke dalam botol yang ditutup menurut cara tertentu;
dan kegiatan-kegiatan lain yang dapat dipersamakan dengan kegiatan itu, atau menyuruh orang atau badan lain
melakukan kegiatan-kegiatan tersebut.
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (2)
Pengertian umum dari Pajak Masukan hanya berlaku pada Pajak Pertambahan Nilai dan tidak dikenal pada Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah. Oleh karena itu Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang telah dibayar tidak dapat
dikreditkan dengan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang.
Dengan demikian prinsip pemungutannya hanya satu kali saja yaitu pada waktu:
a. penyerahan oleh Pabrikan atau Produsen Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah, atau
b. impor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah.
Penyerahan pada tingkat berikutnya tidak lagi dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Angka 9
Cukup jelas
Angka 10
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dapat ditetapkan dalam beberapa kelompok tarif, yaitu tarif terendah
sebesar 10% (sepuluh persen) dan tarif tertinggi 75% (tujuh puluh lima persen). Perbedaan kelompok tarif tersebut
didasarkan pada pengelompokan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang atas penyerahannya dikenakan
juga Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).
Ayat (2)
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak Yang
Tergolong Mewah di dalam Daerah Pabean. Oleh karena itu, Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang
diekspor atau dikonsumsi di luar Daerah Pabean, dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dengan tarif 0%
(no1 persen). Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang telah dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak Yang
Tergolong Mewah yang diekspor tersebut dapat diminta kembali.
Ayat (3)
Dengan mengacu pada pertimbangan-pertimbangan sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1), maka
pengelompokan barang-barang yang terkena Pajak Penjualan Atas Barang Mewah terutama didasarkan pada tingkat
kemampuan golongan masyarakat yang mempergunakan barang-barang tersebut, disamping didasarkan pula pada
nilai gunanya bagi masyarakat pada umumnya.
Sehubungan dengan hal itu, tarif yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang yang hanya dikonsumsi oleh
masyarakat yang berpenghasilan tinggi dan barang-barang yang konsumsinya perlu dibatasi. Dalam hal terhadap
barang-barang yang panyak dikonsumsi oleh masyarakat banyak perlu dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah, maka tarif yang dipergunakan adalah tarif yang rendah.
Ayat (4)
Cukup jelas
Angka 11
Pasal 9
Ayat (1)
Cara menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang terutang adalah dengan mengalikan jumlah Harga Jual,
Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan
dengan tarif pajak sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1). Pajak yang terutang ini merupakan Pajak
Keluaran, yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak.
Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dapat ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan hanya untuk
menjamin rasa keadilan dalam hal :
a. Harga Jual, Nilai Penggantian, Nilai Impor, dan Nilai Ekspor sukar ditetapkan; dan atau
b. Penyerahan Barang Kena Pajak yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak, seperti air minum, listrik dan
sejenisnya.
Contoh :
a) Pengusaha Kena Pajak "A" menjual tunai Barang Kena Pajak dengan Harga Jual Rp 25.000.000,00.
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 10% X Rp 25.000.000,00 = Rp 4.500.000,00.
Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp 2.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran, yang dipungut oleh
Pengusaha Kena Pajak "A".
b) Pengusaha Kena Pajak "B" melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan memperoleh Penggantian Rp
20.000.000,00.
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 10 % x Rp 20.000.000,00 = Rp 2.000.000,00.
Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp 2.000.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran, yang dipungut oleh
Pengusaha Kena Pajak "B".
c) Seseorang mengimpor Barang Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dengan Nilai Impor Rp 15.000.000,00.
Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai = 10% x Rp l5.000.000,00 =
Rp l.500.000,00.
Ayat (2)
Pembeli Barang Kena Pajak, penerima Jasa Kena Pajak, pengimpor Barang Kena Pajak, pihak yang memanfaatkan
Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, atau pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari
luar Daerah Pabean.wajib membayar Pajak Pertambahan Nilai dan berhak menerima bukti pungutan pajak. Pajak
Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar tsb merupakan Pajak Masukan bagi pembeli Barang Kena Pajak,
atau penerima Jasa Kena Pajak, atau pengimpor Barang Kena Pajak, atau pihak yang memanfaatkan Barang Kena
Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, atau pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah
Pabean yang berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Pajak Masukan yang wajib dibayar tersebut di atas oleh Pengusaha Kena Pajak dapat dikreditkan dengan Pajak
Keluaran yang dipungutnya dalam Masa Pajak yang sama.
Ayat (2a)
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak belum berproduksi, atau belum melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau
Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak sehingga Pajak Keluarannya belum ada (nihil), maka Pajak
Masukan yang telah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak pada waktu perolehan Barang Kena Pajak, atau penerimaan
Jasa Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, atau
pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud, atau impor Barang Kena Pajak tetap dapat dikreditkan sesuai
dengan Pasal 9 ayat (2), kecuali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8).
Ayat (3)
Selisih yang dimaksud dalam ayat ini harus disetor ke Kas Negara menurut ketentuan sebagaimana diatur dalam
Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Ayat (4)
Pajak Masukan yang dimaksud dalam ayat ini adalah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
Dapat terjadi dalam suatu Masa Pajak terdapat Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak
Keluaran Kelebihan Pajak Masukan tersebut dapat diminta kembali atau dapat dikompensasikan pada Masa Pajak
berikutnya.
Contoh :
Masa Pajak Mei 2001:
Pajak Keluaran = Rp 2.000.000,00
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan = Rp 4.500.000,00
Pajak yang lebih dibayar = Rp 2.500.000,00
Pajak yang lebih dibayar tersebut dapat diminta kembali atau dapat dikompensasikan pada Masa Pajak Juni 2001.
Masa Pajak Juni 2001:
Pajak Keluaran = Rp 3.000.000,00
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan = Rp 2.000.000,00
Pajak yang kurang dibayar = Rp l.000.000,00
Pajak yang lebih dibayar dari Masa Pajak Mei 2001 yang dikompensasikan
ke bulan Juni 2001 = Rp 2.500.000,00
Pajak yang lebih dibayar Juni 2001 = Rp l.500.000,00
Ayat (5)
Dalam ayat ini yang dimaksud dengan penyerahan yang terutang pajak adalah penyerahan barang atau jasa yang
sesuai denga ketentuan Undang-undang ini, dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
Yang di maksud dengan penyerahan yang tidak terutang pajak yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan
adalah penyerahan barang dan jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 A dan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak PertambahanNilai sebagaimana dimaksud Pasal 16B.
Pengusaha Kena Pajak yang dalam suatu Masa Pajak melakukan penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan
yang tidak terutang pajak, hanya dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang
terutang pajak. Bagian penyerahan yang terutang pajak tersebut harus dapat diketahui dengan pasti dari pembukuan
Pengusaha Kena Pajak.
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak melakukan beberapa macam penyerahan yaitu:
a. penyerahan terutang pajak = Rp 25.000.000,00
Pajak Keluaran = Rp 2.500.000,00
b. penyerahan yang tidak dikenakan PPN = Rp 5.000.000,00
c. penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN = Rp 5.000.000,00
Pajak Keluaran = NIHIL
Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan:
a. Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan penyerahan yang terutang pajak = Rp
l.500.000,00
b. Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan penyerahan yang tidak dikenakan PPN = Rp
300.000,00
c. Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan
PPN = Rp 500.000,00
Menurut ketentuan ini, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran sebesar Rp 2.500.000,00
hanya sebesar Rp 1.500.000,00.
Ayat (6)
Dalam hal Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, maka cara
pengkreditan Pajak Masukan dihitung berdasarkan pedoman yang diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan, yang
dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kepastian kepada Pengusaha Kena Pajak.
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak melakukan dua macam penyerahan yaitu:
a. penyerahan terutang pajak = Rp 35.000.000,00
Pajak Keluaran = Rp 3.500.000,00
b. penyerahan tidak terutang pajak = Rp l5.000.000,00
Pajak Keluaran = NIHIL
Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan
keseluruhan penyerahan sebesar Rp 2.500.000,00, sedangkan Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan
yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti. Menurut ketentuan ini, Pajak Masukan sebesar Rp
2.500.000,00 tidak seluruhnya dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran sebesar Rp 3.500.000,00. Besarnya Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan dihitung berdasarkan pedoman yang diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Ayat (7) .
Pengusaha yang diijinkan menghitung Penghasilan Netto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Netto hanya diwajibkan melakukan pencatatan yang meliputi peredaran bruto dan penerimaan bruto. Oleh karena
besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tidak dapat diketahui dengan pasti sehubungan dengan pengusaha
tidak membuat pencatatan atas pembelian, maka Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menentukan besarnya
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
Ayat (8)
Pajak Masukan pada dasarnya dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran, akan tetapi untuk pengeluaran yang
dimaksud dalam ayat ini, Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan.
Huruf a
Ayat ini memberikan kepastian hukum bahwa Pajak Masukan yang diperoleh sebelum pengusaha melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak dapat dikreditkan.
Contoh:
Pengusaha A melaporkan usahanya untukdikukuhkan sebagai pengusaha Kena Pajak pada tanggal 3 Januari 2001.
Pengukuhan sebagai .Pengusaha Kena Pajak diberikan pada tanggal 5 Januari 2001 dan berlaku surut sejak tanggal 3
Januari 2001. Pajak Masukan yang diperoleh sebelum tanggal 3 Januari 2001 tidak dapat dikreditkan berdasarkan
ayat ini.
Huruf b
Yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran untuk
kegiatan-kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen. Ketentuan ini berlaku untuk semua bidang
usaha.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Ayat ini memberikan kepastian hukum bahwa Pajak Masukan yang diperoleh sebelum pengusaha melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak dapat dikreditkan.
Contoh:
Pengusaha A melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak pada tanggal 3 Januari 2001.
Pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak diberikan pada tanggal 5 Januari 2001 dan berlaku surut sejak tanggal 3
Januari 2001. Pajak Masukan atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean yang diperoleh sebelum tanggal 3 Januari 2001 tidak dapat dikreditkan berdasarkan ayat ini.
Huruf e
Faktur Pajak Sederhana adalah Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (7). Oleh karena Faktur
Pajak Sederhana merupakan Faktur Pajak yang isinya tidak mencantumkan secara lengkap hal-hal yang diatur dalam
Pasal 13 ayat (5), maka Faktur Pajak Sederhana hanya merupakan bukti pungutan Pajak Pertambahan Nilai dan
tidak dapat dipakai sebagai dasar pengkreditan Pajak Masukan.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Dapat terjadi Pengusaha Kena Pajak, baru membayar Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas perolehan atau
pemanfaatan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak setelah diterbitkan ketetapan pajak. Pajak Pertambahan Nilai
yang dibayar atas ketetapan pajak tersebut bukan merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
Huruf i
Sesuai dengan sistem selfassesment Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan seluruh kegiatan usahanya, dalam
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai. Disamping itu, kepada Pengusaha Kena Pajak juga telah
diberikan kesempatan untuk melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, sehingga
sudah selayaknya jika Pajak Masukan yang tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan
Nilai tidak dapat dikreditkan.
Contoh:
Dalam Surat Pemberitahuan Masa dilaporkan:
Pajak Keluaran = Rp 10.000.000,00
Pajak Masukan = Rp 8.000.000,00
Dari hasil pemeriksaan diketahui:
Pajak Keluaran = Rp 15.000.000,00
Pajak Masukan = Rp 11.000.000,00
Dalam hal ini, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan bukan sebesar Rp 11.000.000,00 tetapi tetap sebesar Rp
8.000.000,00, sesuai dengan yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa.
Dengan demikian, perhitungan hasil pemeriksaan:
Pajak Keluaran = Rp 15.000.000,00
Pajak Masukan = Rp 8.000.000.00 (-)
Kurang Bayar menurut hasil pemeriksaan Pemberitahuan = Rp 7.000.000,00
Kurang Bayar menurut Surat Pemberitahuan = Rp 2.000.000.00 (-)
Masih kurang dibayar = Rp 5.000.000,00
Ayat (9)
Ketentuan ini memungkinkan Pengusaha Kena, Pajak untuk mengkreditkan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran
dalam Masa Pajak yang tidak samar yang disebabkan antara lain karena Faktur Pajak terlambat diterima.
Pengkreditan Pajak Masukan dalam Masa Pajak yang tidak sama tersebut hanya diperkenankan dilakukan pada
Masa Pajak berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan. Dalam hal
jangka waktu tersebut telah dilampauir pengkreditan Pajak Masukan tersebut dapat dilakukan melalui pembetulan
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang bersangkutan. Kedua cara pengkreditan tersebut hanya
dapat dilakukan apabila Pajak Masukan yang bersangkutan belum dibebankan sebagai biaya atau tidak ditambahkan
(dikapitalisasikan) kepada harga perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bersangkutan, dan
terhadap Pengusaha Kena Pajak belum dilakukan pemeriksaan.
Contoh:
Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tertanggal 7 Juli 2001 dapat dikreditkan
dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak Juli 2001 atau pada Masa Pajak berikutnya paling lambat Masa Pajak
Oktober 2001.
Ayat (10)
Dihapus
Ayat (11)
Dihapus.
Ayat (12)
Dihapus
Ayat (13)
Cukup jelas
Ayat(14)
Dihapus
Angka 12
Pasal 10
Ayat (1)
Cara menghitung Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang erutang adalah dengan mengalikan Harga Jual, Nilai
Impor, Nilai Ekspor atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan tarif pajak
sebagaimana ditetapkan dalan Pasal 8 ayat (2).
Berbeda dengan Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut pada ietiap tingkat penyerahan, Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah hanya dipungut pada tingkat penyerahan oleh Pengusaha Kena Pajak yang nenghasilkan Barang
Kena Pajak Yang Tergolong Mewah atau atas impor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah. Dengan
demikian, Pajak Penjualan Atas Barang Mewah bukan merupakan Pajak Masukan sehingga tidak dapat dikreditkan.
Oleh karena itu, Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dapat ditambahkan ke dalam harga Barang Kena Pajak yang
bersangkutan atau dibebankan sebagai biaya sesuai ketentuan perundang-undangan Pajak Penghasilan.
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak "A" mengimpor Barang Kena Pajak dengan Nilai Impor Rp 5.000.000,00. Barang Kena
Pajak tersebut, selain dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, misalnya juga dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah dengan tarif 20%. Dengan demikian, Penghitungan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak.
Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang atas impor Barang Kena Pajak tersebut adalah:
- Dasar Pengenaan Pajak = Rp 5.000.000,00
- Pajak Pertambahan Nilai: 10% x Rp 5.000.000,00 = Rp 500.000,00
- Pajak Penjualan Atas Barang Mewah: 20% x Rp 5.000.000,00 = Rp 1.000.000,00
Kemudian, Pengusaha Kena Pajak “A" menggunakan Barang KenaPajak tersebut sebagai bagian dari suatu Barang
Kena Pajak lain rang atas penyerahannya dikenakan Pajak Pertambahan Nilai 10% dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah 35%. Oleh karena Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang telah dibayar atas Barang Kena Pajak yang
diimpor tersebut tidak dapat dikreditkan, maka Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebesar Rp 1.000.000,00 dapat
ditambahkan ke dalam harga Barang Kena Pajak yang dihasilkan oleh Pengusaha Kena Pajak "A" atau dibebankan
sebagai biaya. Kemudian, Pengusaha Kena Pajak "A" menjual Barang Kena Pajak yang dihasilkannya kepada
Pengusaha Kena Pajak "B" dengan Harga Jual Rp 50.000.000,00. Maka, penghitungan Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang adalah: Dasar Pengenaan Pajak = Rp 50.000.000,00 Pajak
Pertambahan Nilai: l0% x Rp 50.000.000,00 = Rp 5.000.000,00 Pajak Penjualan Atas Barang Mewah: 35% x Rp
50.000.000,00 = Rp 17.500.000,00 Dalam contoh ini, Pengusaha Kena Pajak "A" dapat mengkreditkan Pajak
Pertambahan Nilai sebesar Rp 500.000,00 di atas :erhadap Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp 5.000.000,00.
Sedangkan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebesar Rp 1.000.000,00 tidak dapat dikreditkan, baik dengan
Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp 5.000.000,00 maupun dengan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebesar Rp
17.500.000,00.
Ayat (3)
Pengusaha Kena Pajak yang telah membayar.pajak Penjualan Atas Barang Mewah pada saat perolehan Barang Kena
Pajak Yang tergolong Mewah, sepanjang Pajak Penjualan Atas Barang Mewah tersebut belum dibebankan sebagai
biaya, Pengusaha Kena Pajak berhak neminta kembali Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang dibayarnya,
Apabila Pengusaha Kena Pajak dimaksud telah mengekspor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah tersebut.
Contoh: Pengusaha Kena Pajak "A" membeli mobil dari Agen Tunggal pemegang Merk seharga Rp 100.000.000,00.
Dia membayar Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan. Atas Barang Mewah masing-masing sebesar Rp
10.000.000,00 dan Rp 35.000.000,00. Apabila mobil tersebut kemudian diekspornya, maka Pengusaha Kena Pajak
"A" berhak untuk meminta kembali Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp 10.000.000,00 dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah sebesar Rp 35.000.000,00 yang telah dibayarnya pada saat membeli mobil tersebut.
Angka 13
Pasal 11
Ayat (1)
Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah menganut prinsip akrual, artinya
terutangnya pajak terjadi pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau pada saat penyerahan Jasa Kena Pajak,
meskipun pembayaran atas penyerahan tersebut belum diterima atau belum sepenuhnya diterima, atau pada saat
impor Barang Kena Pajak. Saat terutangnya pajak untuk transaksi yang dilakukan melalui ”electronic commerce”
tunduk pada ayat ini.
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Dalam hal orang pribadi atau badan memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean, atau memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, maka
terutangnya pajak terjadi pada saat orang pribadi atau badan tersebut mulai memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak
berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut di dalam Daerah Pabean. Hal ini dihubungkan dengan kenyataan bahwa
yang menyerahkan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut di luar Daerah Pabean,
sehingga tidak dapat dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Oleh karena itu, saat pajak terutang tidak lagi
dikaitkan dengan saat penyerahan, tetapi dikaitkan dengan saat pemanfaatan.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Ayat (2)
Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf a, sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, atau sebelum
dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 huruf d, atau sebelum dimulainya pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf e, saat terutangnya pajak adalah saat pembayaran.
Ayat (3)
Dihapus.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Dihapus.
Angka 14
Pasal 12
Ayat (1)
Pengusaha Kena Pajak orang pribadi terutang pajakdi tempat tinggal dan atau tempat kegiatan usaha sedangkan bagi
Pengusaha Kena Pajak badan terutang pajak di tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha.
Apabila Pengusaha Kena Pajak mempunyai satu atau lebih tempat kegiatan usaha di luar tempat tinggal atau tempat
kedudukannya maka setiap tempat tersebut merupakan tempat terutangnya pajak dan Pengusaha Kena Pajak
dimaksud wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Apabila Pengusaha Kena Pajak mempunyai lebih dari satu tempat pajak terutang yang berada di wilayah kerja satu
Kantor Direktorat Jenderal Pajak, maka untuk seluruh tempat-tempat terutang tersebut, Pengusaha Kena Pajak
memilih salah satu tempat kegiatan usaha sebagai tempat pajak terutang yang bertanggung jawab untuk seluruh
tempat kegiatan usahanya.
Contoh 1 :
Orang pribadi "A"yang bertempat tinggal di Bogor mempunyai usaha di Cibinong. Apabila di tempat tinggal orang
pribadi "A" tidak ada penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak, maka orang pribadi "A" hanya
wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Cibinong
sebab tempat terutangnya pajak bagi orang pribadi "A"adalah di Cibinong. Sebaliknya, apabila penyerahan Barang
Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak dilakukan oleh orang pribadi "A" hanya di tempat tinggalnya saja, maka orang
pribadi "A" hanya wajib mendaftarkan diri di Kantor Pelayanan Pajak Bogor. Namun demikian, apabila baik di
tempat tinggal maupun di tempat kegiatan usahanya orang pribadi "A" melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
atau Jasa Kena Pajak, maka orang pribadi "A wajib mendaftarkan diri di Kantor Pelayanan Pajak Bogor dan Kantor
Pelayanan Pajak Cibinong, karena tempat terutangnya pajak berada di Bogor dan Cibinong.
Berbeda dengan orang pribadi, Pengusaha Kena Pajak badan wajib mendaftarkan diri baik di tempat kedudukan
maupun di tempat kegiatan usaha karena bagi Pengusaha Kena Pajak badan di kedua tempat tersebut dianggap
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak.
Contoh 2 :
PT A mempunyai 3 tempat melakukan kegiatan usaha, masing-masing di kota Bengkulu, Curup dan Manna yang
ketiganya berada dibawah pelayanan satu Kantor Pelayanan Pajak, yaitu Kantor Pelayanan Pajak Bengkulu. Ketiga
tempat usaha tersebut masing-masing melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak dan
masing-masing melakukan administrasi penjualan dan administrasi keuangan, sehingga PT A terutang pajak di
ketiga tempat atau kota itu. Dalam keadaan demikian PT A wajib, memilih salah satu tempat kegiatan usaha,
misalnya tempat kegiatan usaha yang berada di Bengkulu untuk melaporkan usahanya guna dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Bengkulu. PT A yang bertempat kegiatan usaha di Bengkulu ini
bertanggung jawab untuk melaporkan seluruh kegiatan usaha yang dilakukan oleh ketiga cabang perusahaan
tersebut.
Ayat (2)
Apabila Pengusaha Kena Pajak terutang pajak pada lebih dari satu tempat kegiatan usaha, maka Pengusaha Kena
Pajak tersebut dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya dapat mengajukan permohonan secara tertulis kepada
Direktur Jenderal Pajak untuk memilih satu tempat atau lebih sebagai tempat terutangnya pajak.
Direktur Jenderal Pajaksebelum memberikan keputusan perlu melakukan pemeriksaan untuk meyakinkan antara lain
bahwa:
a. kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak untuk semua tempat kegiatan usaha
hanya dilakukan oleh satu atau lebih tempat kegiatan usaha;
b. administrasi penjualan dan administrasi keuangan diselenggarakan secara terpusat pada satu atau lebih tempat
kegiatan usaha.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Orang pribadi atau badan baik sebagai Pengusaha Kena Pajak maupun bukan Pengusaha Kena Pajak yang
memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean dan atau
memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean tetap terutang pajak di tempat
tinggal atau tempat kegiatan usaha orang pribadi atau di tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha badan
tersebut.
Angka 15
Pasal 13
Ayat (1)
Dalam hal terjadi penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak, maka Pengusaha Kena Pajak yang
menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak itu wajib memungut pajak Pertambahan Nilai yang terutang
dan memberikan Faktur Pajak sebagai bukti pungutan pajak. Faktur Pajak tidak perlu dibuat secara khusus atau
berbeda dengan Faktur Penjualan. Faktur Pajak dapat berupa Faktur Pajak Standar, Faktur Pajak Sederhana, dan
dokumen-dokumen tertentu yang ditetapkan sebagai Faktur Pajak oleh Direktur Jenderal Pajak.
Ayat (2)
Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), untuk meringankan beban administrasi, kepada
Pengusaha Kena Pajak diperkenankan untuk membuat satu Faktur Pajak yang meliputi semua penyerahan Barang
Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak lang terjadi selama satu bulan takwim kepada pembeli yang sama atau
Penerima Jasa Kena Pajak yang sama, yang disebut Faktur Pajak Gabungan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Mengingat dalam dunia usaha dimungkinkan pembuatan faktur Penjualan dilakukan setelah terjadinya penyerahan
Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak, maka Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk
menetapkan saat Faktur Pajak harus dibuat.
Demikian pula, Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk mengatur keseragaman bentuk, ukuran, pengadaan,
dan tata cara penyampaian, dan tata cara pembetulan Faktur Pajak. Dalam ayat ini yang dimaksud dengan
pengaturan Faktur Pajak adalah pengaturan mengenai siapa yang mengadakan formulir Faktur Pajak dan persyaratan
yang harus dipenuhi. Misalnya, pengadaan formulir Faktur Pajak dapat diadakan atau dicetak sendiri oleh
Pengusaha dengan bentuk, ukuran, dan persyaratan teknis administratif lainnya yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak.
Ayat (5)
Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak dan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengkreditkan Pajak
Masukan. Oleh karena itu, Faktur Pajak harus benar, baik secara formal maupun secara materil. Faktur Pajak harus
diisi secara lengkap, jelas dan benar dan ditandatangani oleh pejabat yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak
untuk menandatanganinya. Namun untuk pengisian keterangan mengenai Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
hanya diisi apabila atas penyerahan Barang Kena Pajak terutang Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Faktur Pajak
yang tidak diisi sesuai dengan ketentuan dalam ayat ini dapat mengakibatkan Pajak Pertambahan Nilai yang
tercantum di dalamnya tidak dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (8) huruf f. Faktur
Penjualan yang memuat keterangan dan yang pengisiannya sesuai dengan ketentuan dalam ayat ini disebut Faktur
Pajak Standar.
Ayat (6)
Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan
dokumen-dokumen yang biasa digunakan dalam dunia usaha sebagai Faktur Pajak Standar.
Ketentuan ini diperlukan karena:
a. Faktur penjualan yang digunakan oleh Pengusaha telah dikenal oleh masyarakat luas dan memenuhi persyaratan
administratif sebagai Faktur Pajak. Misalnya, kuitansi pembayaran telepon dan tiket pesawat udara.
b. Untuk adanya bukti pungutan pajak harus ada Faktur Pajak, sedangkan pihak yang seharusnya membuat Faktur
Pajak, yaitu pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, berada di luar Daerah Pabean.
Misalnya, dalam hal pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, maka Surat Setoran Pajak dapat
ditetapkan sebagai Faktur Pajak.
Ayat (7)
Faktur Pajak Sederhana juga merupakan bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak untuk
menampung kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dilakukan secara
langsung kepada konsumen akhir. Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan tanda bukti penyerahan atau tanda
bukti pembayaran sebagai Faktur Pajak Sederhana yang paling sedikit memuat:
a. Nama, alamat dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
b. Jenis dan kuantum;
c. Jumlah Harga Jual atau Penggantian yang sudah termasuk pajak atau besarnya pajak dicantumkan secara
terpisah;
d. Tanggal pembuatan Faktur Pajak Sederhana.
Angka 16
Pasal 16A
Ayat (1)
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak
kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, maka Pemungut Pajak Pertambahan Nilai berkewajiban memungut,
menyetor, dan melaporkan pajak yang dipungutnya. Meskipun demikian, pengusaha Kena Pajak yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tetap
berkewajiban untuk melaporkan pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
Ayat (2)
Cukup jelas
Angka 17
Pasal 16B
Ayat (1)
Salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undang-undang Perpajakan adalah diberlakukan dan
diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang
perpajakan yang pada hakekatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Karena itu setiap kemudahan dalam bidang perpajakan jika benar-benar diperlukan harus mengacu pada kaidah di
atas dan perlu dijaga agar didalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya
kemudahan tersebut.
Tujuan dan maksud diberikannya kemudahan pada hakekatnya untuk memberikan fasilitas perpajakan yang benarbenar
diperlukan terutama untuk berhasilnya sektor-sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala
nasional, mendorong perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing, mendukung pertahanan nasional,
serta memperlancar pembangunan nasional.
Kemudahan perpajakan yang diatur dalam pasal ini diberikan terbatas untuk:
a. mendorong ekspor yang merupakan prioritas nasional di Kawasan Berikat dan Entreport Produksi untuk Tujuan
Ekspor (EPTE), atau untuk pengembangan wilayah lain dalam Daerah Pabean yang dibentuk khusus untuk
maksud tersebut;
b. menampung kemungkinan perjanjian dengan negara atau negara-negara lain dalam bidang perdagangan dan
investasi;
c. mendorong peningkatan kesehatan masyarakat melalui pengadaan vaksin-vaksin yang diperlukan dalam rangka
Program Imunisasi Nasional;
d. menjamin tersedianya peralatan Tentara Nasional Indonesial Kepolisian Republik Indonesia (TNI/POLRI) yang
memadai untuk melindungi wilayah Republik Indonesia dari ancaman eksternal maupun intemal;
e. menjamin tersedianya data batas dan photo udara wilayah Republik Indonesia yang dilakukan oleh Tentara
Nasional Indonesia (TNI) untuk mendukung pertahanan nasional;
f. meningkatkan pendidikan dan kccerdasan bangsa dengan membantu tersedianya buku-buku pelajaran umum,
kitab suci dan buku-buku pelajaran agama dengan harga yang relatif terjangkau masyarakat;
g. mendorong pembangunan tempat-tempat ibadah;
h. menjamin tersedianya perumahan yang terjangkau oleh masyarakat lapisan bawah yaitu rumah sederhana,
rumah sangat sederhana, dan rumah susun sederhana;
i. mendorong pengembangan armada nasional di bidang angkutan darat, air, dan udara;
j. mendorong pembangunan nasional dengan membantu tersedianya barang-barang yang bersifat strategis setelah
berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Ayat (2)
Adanya perlakuan khusus berupa Pajak pertambahan Nilai yang terutang tetapi tidak dipungut diartikan bahwa
Pajak Masukan yang berkaitan dengan, penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang mendapat
perlakuan khusus di maksud tetap dapat dikreditkan, dengan demikian Pajak Pertambahan Nilai tetap terutang akan
tetapi tidak dipungut.
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak " A" memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari Negara, yaitu Pajak
Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut tidak dipungut selamanya (tidak
sekedar ditunda).
Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena pajak"A" menggunakan Barang Kena Pajak lain
dan atau Jasa Kena Pajak sebagai bahan baku, bahan pembantu, Barang modal ataupun sebagai komponen biaya
lain.
Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan atau Jasa Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak "A"
membayar Pajak Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena pajak tersebut. Jika Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak. kepada
Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran,
maka Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran, walaupun Pajak Keluaran tersebut nihil karena
menikmati fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut dari Negara berdasarkan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
Ayat (3)
Berbeda dengan ketentuan dalam ayat (2), adanya perlakuan khusus berupa pembebasan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai mengakibatkan tidak adanya Pajak Keluaran, sehingga Pajak Masukan yang berkaitan dengan
penyerahan Barang. Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh pembebasan tersebut tidak dapat
dikreditkan.
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak "B" memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari Negara, yaitu atas
penyerahan Barang Kena pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena pajak"B" menggunakan Barang Kena Pajak lain
dan atau Jasa Kena Pajak sebagai bahan baku, bahan pembantu, Barang modal ataupun sebagai komponen biaya
lain.
Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan atau Jasa Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak "B"
membayar Pajak Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut.
Meskipun Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak “B” kepada Pengusaha Kena Pajak
pemasok tersebut merupakan pajak Masukan yang dapat dikreditkan, akan tetapi karena tidak ada Pajak Keluaran
berhubung diberikannya fasilitas dibebaskan dari pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka
Pajak Masukan tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan .
Angka 18
Pasal 16 C
Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya, dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai pertimbangan untuk mencegah terjadinya penghindaran pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
Untuk rnelindungi masyarakat yang berpenghasilan rendah dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan
membangun sendiri, maka diatur batasan kegiatan membangun sendiri dengan Keputusan Menteri Keuangan.
PASAL II
Cukup jelas
PASAL III
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3986

fatwa dsn tentang pengalihan hutang

FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
Nomor: 31/DSN-MUI/VI/2002
Tentang
PENGALIHAN UTANG
بِ  سمِ اللهِ ال ر  حمنِ الرحِيمِ
Dewan Syari’ah Nasional, setelah
Menimbang : a. bahwa salah satu bentuk jasa pelayanan keuangan yang
menjadi kebutuhan masyarakat adalah membantu masyarakat
untuk mengalihkan transaksi non-syari’ah yang telah
berjalan menjadi transaksi yang sesuai dengan syari’ah;
b. bahwa lembaga keuangan syari'ah (LKS) perlu merespon
kebutuhan masyarakat tersebut dalam berbagai produknya
melalui akad pengalihan utang oleh LKS;
c. bahwa agar akad tersebut dilaksanakan sesuai dengan
Syari’ah Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa
mengenai hal tersebut untuk dijadikan pedoman.
Mengingat : 1. Firman Allah SWT, QS. Al-Ma’idah [5]:1:
ياَأي  ها الَّذِي  ن آمن  وا َأ  وُف  وا بِاْلعُق  ودِ …
“Hai orang yang beriman! Penuhilah aqad-aqad itu…”.
2. Firman Allah SWT, QS. al-Isra’ [17]: 34:
… وَأوُف  وا بِاْلع  هدِ، إِنَّ اْلع  ه  د َ كا َ ن م  سُئ  و ً لا
“…dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti
diminta pertanggungan jawabnya.”
3. Firman Allah SWT, QS. al-Baqarah [2]: 275:
… وَأ  حلَّ اللهُ البي  ع  و  حرم الربا…
“…dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengaramkan
riba…”.
4. Firman Allah SWT tentang perintah untuk saling tolong
menolong dalam perbuatan positif, antara lain QS. al-
Ma’idah [5]: 2:
… وتعا  ونوا  عَلى اْلبِر  والت ْ ق  وى  و َ لا تعا  ونوا  عَلى ْالإِْثمِ
 واْلع  د  وانِ،  واتُقوا اللَّه، إِنَّ اللَّه  شدِي  د اْلعَِقابِ.
31 Pengalihan Utang 2
Dewan Syariah Nasional MUI
“…dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu
kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”
5 Firman Allah SWT., QS. al-Baqarah [2]: 275:
الَّذِي  ن يْأ ُ كُلو َ ن الربا َ لا يُقومو َ ن إِلاَّ َ ك  ما يُقوم الَّذِي يت  خب ُ طه
ال  شي َ طا ُ ن مِ  ن اْل  م  س، َ ذلِ  ك بَِأن  ه  م َقاُلوا إِن  ما اْلبي  ع مِْث ُ ل ال ربا،  وَأ  حلَّ
اللَّه اْلبي  ع  و  حرم الربا، َف  م  ن  جاءَه م  وعِ َ ظٌة مِ  ن  ربهِ َفانت  هى َفَله ما
 سَل  ف،  وَأ  مره إَِلى اللَّهِ،  وم  ن  عا  د َفُأوَلئِ  ك َأ  ص  حا  ب النارِ  ه  م فِي  ها
 خالِ  د  و َ ن
“Orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikian itu adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang yang telah sampai kepadanya
larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya
dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya
(terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi
(mengambil riba), maka orang itu adalah penghunipenghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya.”
6. Hadits Nabi riwayat Imam al-Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf
al-Muzani, Nabi s.a.w. bersabda:
َال  صْل  ح  جائِز بي  ن الْ  م  سلِمِ  ين إِلاَّ  صْل  حا  حرم  ح َ لا ً لا َأ  و َأ  حلَّ
 ح راما  واْل  م  سلِ  مو َ ن  عَلى  شروطِهِ  م إِلاَّ  ش  ر ً طا  حرم  ح َ لا ً لا َأ  و َأ  حلَّ
 ح راما.
“Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin
kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat
dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
haram.”
7. Hadits Nabi riwayat Imam Ibnu Majah, al-Daruquthni, dan
yang lain, dari Abu Sa’id al-Khudri, Nabi s.a.w. bersabda:
َ لا  ض ر  ر  و َ لاضِ را  ر .
“Tidak boleh membahayakan (merugikan) diri sendiri
maupun orang lain.”
31 Pengalihan Utang 3
Dewan Syariah Nasional MUI
8. Kaidah Fiqh:
َالأَ  ص ُ ل فِي اْل  معام َ لاتِ ْالإِبا  حُة إِلاَّ َأ ْ ن ي  دلَّ  دلِي ٌ ل  عَلى ت  حرِيمِ  ها
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan
kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
َاْل  م  شقَُّة ت  جلِ  ب التيسِي ر
“Kesulitan dapat menarik kemudahan.”
َاْل  حا  جُة َق  د تنزِ ُ ل منزَِلَة ال  ضر  و  رةِ
“Keperluan dapat menduduki posisi darurat.”
َالثَّابِ  ت بِاْلع  رفِ َ كالثَّابِتِ بِال  ش  رعِ
“Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan sama
dengan sesuatu yang berlaku berdasarkan syara’ (selama
tidak bertentangan dengan syari’at.”
Memperhatikan : Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari’ah Nasional
pada hari Rabu, 15 Rabi’ul Akhir 1423 H. / 26 Juni 2002.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : FATWA TENTANG PENGALIHAN UTANG
Pertama : Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan:
a. Pengalihan utang adalah pemindahan utang nasabah dari
bank/lembaga keuangan konvensional ke bank/lembaga
keuangan syariah;
b. Al-Qardh adalah akad pinjaman dari LKS kepada nasabah
dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan
pokok pinjaman yang diterimanya kepada LKS pada waktu
dan dengan cara pengembalian yang telah disepakati.
c. Nasabah adalah (calon) nasabah LKS yang mempunyai
kredit (utang) kepada Lembaga Keuangan Konvensional
(LKK) untuk pembelian asset, yang ingin mengalihkan
utangnya ke LKS.
d. Aset adalah aset nasabah yang dibelinya melalui kredit dari
LKK dan belum lunas pembayan kreditnya.
Kedua : Ketentuan Akad
Akad dapat dilakukan melalui empat alternatif berikut:
Alternatif I 1. LKS memberikan qardh kepada nasabah. Dengan qardh
tersebut nasabah melunasi kredit (utang)-nya; dan dengan
demikian, asset yang dibeli dengan kredit tersebut menjadi
milik nasabah secara penuh ( .(الملك التام
2. Nasabah menjual aset dimaksud angka 1 kepada LKS, dan
dengan hasil penjualan itu nasabah melunasi qardh-nya
31 Pengalihan Utang 4
Dewan Syariah Nasional MUI
kepada LKS.
3. LKS menjual secara murabahah aset yang telah menjadi
miliknya tersebut kepada nasabah, dengan pembayaran
secara cicilan.
4. Fatwa DSN nomor: 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang al-Qardh
dan Fatwa DSN nomor: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang
Murabahah berlaku pula dalam pelaksanaan Pembiayaan
Pengalihan Utang sebagaimana dimaksud alternatif I ini.
Alternatif II 1. LKS membeli sebagian aset nasabah, dengan seizin LKK;
sehingga dengan demikian, terjadilah syirkah al-milk antara
LKS dan nasabah terhadap asset tersebut.
2. Bagian asset yang dibeli oleh LKS sebagaimana dimaksud
angka 1 adalah bagian asset yang senilai dengan utang (sisa
cicilan) nasabah kepada LKK.
3. LKS menjual secara murabahah bagian asset yang menjadi
miliknya tersebut kepada nasabah, dengan pembayaran
secara cicilan.
4. Fatwa DSN nomor: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang
Murabahah berlaku pula dalam pelaksanaan Pembiayaan
Pengalihan Utang sebagaimana dimaksud dalam alternatif
II ini.
Alternatif III 1. Dalam pengurusan untuk memperoleh kepemilikan penuh
الملك التام) ) atas aset, nasabah dapat melakukan akad Ijarah
dengan LKS, sesuai dengan Fatwa DSN-MUI nomor
09/DSN-MUI/IV/2002.
2. Apabila diperlukan, LKS dapat membantu menalangi
kewajiban nasabah dengan menggunakan prinsip al-Qardh
sesuai Fatwa DSN-MUI nomor 19/DSN-MUI/IV/2001.
3. Akad Ijarah sebagaimana dimaksudkan angka 1 tidak boleh
dipersyaratkan dengan (harus terpisah dari) pemberian
talangan sebagaimana dimaksudkan angka 2.
4. Besar imbalan jasa Ijarah sebagaimana dimaksudkan angka
1 tidak boleh didasarkan pada jumlah talangan yang
diberikan LKS kepada nasabah sebagaimana dimaksudkan
angka 2.
Alternatif IV 1. LKS memberikan qardh kepada nasabah. Dengan qardh
tersebut nasabah melunasi kredit (utang)-nya; dan dengan
demikian, asset yang dibeli dengan kredit tersebut menjadi
milik nasabah secara penuh ( .(الملك التام
2. Nasabah menjual aset dimaksud angka 1 kepada LKS, dan
dengan hasil penjualan itu nasabah melunasi qardh-nya
kepada LKS.
3. LKS menyewakan asset yang telah menjadi miliknya
tersebut kepada nasabah, dengan akad al-Ijarah al-
Muntahiyah bi al-Tamlik.
31 Pengalihan Utang 5
Dewan Syariah Nasional MUI
4. Fatwa DSN nomor: 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang al-Qardh
dan Fatwa DSN nomor: 27/DSN-MUI/III/2002 tentang al-
Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik berlaku pula dalam
pelaksanaan Pembiayaan Pengalihan Utang sebagaimana
dimaksud dalam alternatif IV ini.
Ketiga : Ketentuan Penutup
1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau
jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka
penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah
setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan
jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan
diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada Tanggal : 15 Rabi’ul Akhir 1423 H
26 Juni 2002 M
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Ketua, Sekretaris,
K.H.M.A. Sahal Mahfudh Prof. Dr. H.M. Din Syamsuddin

fatwa dsn tentang pembiayaan pengurusan haji

Dewan Syari'ah Nasional MUI
FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
Nomor: 29/DSN-MUI/VI/2002
Tentang
PEMBIAYAAN PENGURUSAN HAJI
LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH
بِ  سمِ اللهِ الر  حمنِ الرحِيمِ
Dewan Syari'ah Nasional setelah:
Menimbang : a. bahwa salah satu bentuk jasa pelayanan keuangan yang menjadi
kebutuhan masyarakat adalah pengurusan haji dan talangan
pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH);
b. bahwa lembaga keuangan syari'ah (LKS) perlu merespon
kebutuhan masyarakat tersebut dalam berbagai produknya;
c. bahwa agar pelaksanaan transaksi tersebut sesuai dengan prinsip
syari’ah, Dewan Syariah Nasional memandang perlu
menetapkan fatwa tentang pengurusan dan pembiayaan haji oleh
LKS untuk dijadikan pedoman.
Mengingat : 1. Firman Allah, QS. al-Maidah [5]: 1:
يآ َأي  ها الَّذِي  ن آمن  وا َأ  وُف  وا بِاْلعُق  ودِ ُأحِلَّ  ت َل ُ ك  م بهِي  مُة ْالأَنعامِ إِلاَّ ما
يتَلى  عَلي ُ ك  م َ غير محِلِّى ال  صيدِ  وَأنت  م  حرم، إِنَّ اللهَ ي  ح ُ ك  م ما يرِي  د
( (المائدة: ١
“Hai orang yang beriman! Tunaikanlah akad-akad itu.
Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan
dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak
menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang
dikehendaki-Nya.”
2. Firman Allah, QS. al-Qashash [28]:26:
َقاَل  ت إِ  ح  دا  ه  ما ياَأبتِ ا  ستْأجِ  ره إِنَّ  خير منِ ا  ستْأ  ج  ر  ت اْلَقوِ  ي ْالأَمِ  ين.
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Hai ayahku!
Ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena
sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk
bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat
dipercaya.”
3. Firman Allah, QS. al-Baqarah [2]: 282:
29 Pembiayaan Pengurusan Haji LKS 2
Dewan Syariah Nasional MUI
يَأي  ها الَّذِي  ن آمن  وا إَِذا ت  داينت  م بِ  دينِ إَِلى َأ  جلٍ م  س  مى َفا ْ كتب  وه...
"Hai orang yang beriman! Jika kamu bermu'amalah tidak
secara tunai sampai waktu tertentu, buatlah secara tertulis..."
4. Firman Allah, QS. al-Baqarah [2]: 280:
 وإِ ْ ن َ كا َ ن ُذ  و  ع  سرةٍ َفنظِرٌة إَِلى مي  سرةٍ…
“Dan jika ia (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, berilah
tangguh sampai ia berkelapangan…”
5. Firman Allah tentang perintah untuk saling tolong menolong
dalam perbuatan positif, antara lain QS.al-Maidah [5]: 2:
 وتعا  ونوا  عَلى اْلبِر  والت ْ ق  وى  و َ لا تعا  ونوا  عَلى اْلإِْثمِ  واْلع  د  وانِ  واتُقوا
اللَّه إِنَّ اللَّه  شدِي  د اْلعَِقابِ.
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa
dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya
Allah amat berat siksa-Nya”
6. Hadis riwayat ‘Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id
al-Khudri, Nabi s.a.w. bersabda:
منِ ا  ستْأ  جر َأجِيرا َفْلي  علِ  مه َأ  جره.
“Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah
upahnya.”
7. Hadis-hadis Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang beberapa
prinsip bermu’amalah, antara lain hadis riwayat Muslim dari
Abu Hurairah:
م  ن َفر  ج  ع  ن م  سلِمٍ ُ ك  ربًة مِ  ن ُ كربِ ال  دنيا، َفر  ج اللهُ  عنه ُ ك  ربًة مِ  ن
ُ كربِ ي  ومِ اْلقِيامةِ،  واللهُ فِ  ي  ع  ونِ اْلعبدِ مادام اْلعب  د فِ  ي  ع  ونِ َأخِيهِ
(رواه مسلم).
“Barang siapa melepaskan dari seorang muslim suatu kesulitan
di dunia, Allah akan melepaskan kesulitan darinya pada hari
kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia
(suka) menolong saudaranya.”
8. Hadis Nabi s.a.w. riwayat Jama’ah:
م ْ ط ُ ل اْلغنِ  ي ُ ظْل  م…
“Penundaan (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu
adalah suatu kezaliman….”
9. Hadis Nabi s.a.w. riwayat al-Nasa’i, Abu Daud, Ibn Majah, dan
Ahmad:
29 Pembiayaan Pengurusan Haji LKS 3
Dewan Syariah Nasional MUI
َل  ي اْل  واجِدِ يحِلُّ عِ  ر  ضه  و  عُق  وبته.
“Penundaan (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu
menghalalkan harga dirinya dan memberikan sanksi
kepadanya.”
10. Hadis Nabi s.a.w. riwayat al-Bukhari:
إِنَّ  خير ُ ك  م َأ  ح  سن ُ ك  م َق  ضاءً .
“Orang yang terbaik di antara kamu adalah orang yang paling
baik dalam pembayaran utangnya.”
11. Hadis Nabi riwayat Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf al-Muzani, Nabi
s.a.w. bersabda:
َال  صْل  ح  جائِز بي  ن اْل  م  سلِمِ  ين إِلاَّ  صْل  حا  حرم  ح َ لا ً لا َأ  و َأ  حلَّ  حراما
 واْل  م  سلِ  مو َ ن  عَلى  شروطِهِ  م إِلاَّ  ش  ر ً طا  حرم  ح َ لا ً لا َأ  و َأ  حلَّ  حراما.
“Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali
perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan
yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat
mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram.”
12. Kaidah Fiqh:
َالأَ  ص ُ ل فِي اْل  معام َ لاتِ ْالإِبا  حُة إِلاَّ َأ ْ ن ي  دلَّ دلِي ٌ ل  عَلى ت  حرِيمِ  ها.
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan
kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
َ اْل  م  شقَُّة ت  جلِ  ب التيسِير
“Kesulitan dapat menarik kemudahan.”
َاْل  حا  جُة َق  د تنزِ ُ ل منزَِلَة ال  ضر  و  رةِ
“Keperluan dapat menduduki posisi darurat.”
Memperhatikan : 1. Permohonan fatwa dari berbagai LKS, baik tertulis maupun
lisan, tentang pembiayaan dana talangan haji.
2. Pendapat peserta rapat pleno DSN pada hari Rabu, 26 Juni 2002
M./ 15 Rabi’ul Akhir 1423 H.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : FATWA PEMBIAYAAN PENGURUSAN HAJI LKS
Pertama : Ketentuan Umum
1. Dalam pengurusan haji bagi nasabah, LKS dapat memperoleh
imbalan jasa (ujrah) dengan menggunakan prinsip al-Ijarah
sesuai Fatwa DSN-MUI nomor 9/DSN-MUI/IV/2000.
29 Pembiayaan Pengurusan Haji LKS 4
Dewan Syariah Nasional MUI
2. Apabila diperlukan, LKS dapat membantu menalangi
pembayaran BPIH nasabah dengan menggunakan prinsip al-
Qardh sesuai Fatwa DSN-MUI nomor 19/DSN-MUI/IV/2001.
3. Jasa pengurusan haji yang dilakukan LKS tidak boleh
dipersyaratkan dengan pemberian talangan haji.
4. Besar imbalan jasa al-Ijarah tidak boleh didasarkan pada jumlah
talangan al-Qardh yang diberikan LKS kepada nasabah.
Kedua : Ketentuan Penutup
1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika
terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka
penyelesaiannya dilakukan melalui badan arbitrase syari’ah
setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika
di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan
disempurnakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada Tanggal : 15 Rabi’ul Akhir 1423 H
26 Juni 2002 M
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Ketua, Sekretaris,
K.H.M.A. Sahal Mahfudh Prof. Dr. H.M. Din Syamsuddin