Minggu, 19 Desember 2010

fatwa dsn tentang istishna

06 Jual Beli Istishna’
Dewan Syariah Nasional MUI
1
FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
NO: 06/DSN-MUI/IV/2000
Tentang
JUAL BELI ISTISHNA'
بِ  سمِ اللهِ ال ر  حمنِ الرحِيمِ
Dewan Syari’ah Nasional, setelah
Menimbang : a. bahwa kebutuhan masyarakat untuk memperoleh sesuatu, sering
memerlukan pihak lain untuk membuatkannya, dan hal seperti itu
dapat dilakukan melalui jual beli istishna’ ( الاستصنا ع ), yaitu akad
jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu
dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara
pemesan (pembeli, mustashni’) dan penjual (pembuat, shani’);
b. bahwa transaksi istishna’ pada saat ini telah dipraktekkan oleh
lembaga keuangan syari’ah.
c. bahwa agar praktek tersebut sesuai dengan syari’ah Islam, DSN
memandang perlu menetapkan fatwa tentang istishna’ untuk
menjadi pedoman.
Mengingat : 1. Hadis Nabi riwayat Tirmizi:
َال  صْل  ح  جائِز بي  ن اْل  م  سلِمِ  ين إِلاَّ  صْل  حا  حرم  ح َ لا ً لا َأ  و َأ  حلَّ  ح راما
 واْل  م  سلِ  مو َ ن  عَلى  شروطِهِ  م إِلاَّ  ش  ر ً طا  حرم  ح َ لا ً لا َأ  و َأ  حلَّ  ح رام ا
(رواه الترمذي عن عمرو بن عوف).
“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali
perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan
yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat
mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram” (HR. Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf).
2. Hadis Nabi:
َ لا  ض ر  ر  و َ لاضِ را  ر (رواه ابن ماجه والدارقطني وغيرهما عن أبي سعيد الخدري)
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain”
(HR, Ibnu Majah, Daraquthni, dan yang lain dari Abu Sa’id al-
Khudri).
3. Kaidah fiqh:
06 Jual Beli Istishna’
Dewan Syariah Nasional MUI
2
َالأَ  ص ُ ل فِى اْل  معام َ لاتِ ْالإِبا  حُة إِلاَّ َأ ْ ن ي  دلَّ  دلِي ٌ ل  عَلى ت  حرِيمِ  ها.
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan
kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
4. Menurut mazhab Hanafi, istishna’ hukumnya boleh (jawaz)
karena hal itu telah dilakukan oleh masyarakat muslim sejak masa
awal tanpa ada pihak (ulama) yang mengingkarinya.
Memperhatikan : Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari’ah Nasional pada hari
Selasa, tanggal 29 Dzulhijjah 1420 H./4 April 2000.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : FATWA TENTANG JUAL BELI ISTISHNA’
Pertama : Ketentuan tentang Pembayaran:
1. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa
uang, barang, atau manfaat.
2. Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.
3. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
Kedua : Ketentuan tentang Barang:
1. Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.
2. Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
3. Penyerahannya dilakukan kemudian.
4. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan
berdasarkan kesepakatan.
5. Pembeli (mustashni’) tidak boleh menjual barang sebelum
menerimanya.
6. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis
sesuai kesepakatan.
7. Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan
kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk
melanjutkan atau membatalkan akad.
Ketiga : Ketentuan Lain:
1. Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan,
hukumnya mengikat.
2. Semua ketentuan dalam jual beli salam yang tidak disebutkan di
atas berlaku pula pada jual beli istishna’.
3. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika
terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka
penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah
setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
06 Jual Beli Istishna’
Dewan Syariah Nasional MUI
3
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 29 Dzulhijjah 1420 H.
4 April 2000 M
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Ketua, Sekretaris,
Prof. KH. Ali Yafie Drs. H.A. Nazri Adlani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar